Swakelola Penyambung Asa, Warga “Kampung Terapung”
pupr / Politik dan Pemerintahan
Minggu, 18 Desember 2022 • 7 Menit baca
Lengkingan suara walet, serta deru mesin kapal, menyambut cerahnya pagi di perairan Selat Bengkalis. Selat yang menjadi pemisah Pulau Bengkalis dan Pulau Padang, Kepulauan Meranti, Riau. Juga menjadi pembatas antara Negeri Junjungan itu dengan Kabupaten Kepulauan Meranti, yang hampir 14 tahun berpisah dari kabupaten induknya.
Meski tak lagi bersama, namun keberadaan kapal kecil bermesin yang akrab dengan sebutan Pompong itulah, yang setiap harinya mondar-mandir, membelah Selat Bengkalis. Menjadi akses penyeberangan orang dan kendaraan antar kedua kabupaten, seakan menjadi perajut ikatan lama antara keduanya.
Pun begitu dengan ku. Janji ku pada seorang teman lama, membawa aku menyeberangi Selat Bengkalis pagi itu. Hanya bermodalkan 25 ribu rupiah, kami sudah tiba di Desa Kudap yang hanya ditempuh dengan waktu sekitar 15 menit, menggunakan jasa penyeberangan pompong dari Sungai Dua, Bengkalis.
Bersama teman lama ku, kami berkunjung ke salah satu rumah warga. Rumah kayu, tanpa sentuhan warna, bergaya khas Tionghoa. Sederhana, tetapi tertata rapi. Setiap rumah saling berhadap-hadapan, terpisah oleh jalan panjang dengan konstruksi kayu, berlantai papan, yang di sebut Jalan Pelantar. Bukan di atas tanah, puluhan rumah warga itu, justru berdiri di atas pantai. Tiang-tiang penyangga dari kayu dan nibung, menjadi penopang utama konstruksi rumah mereka. Begitu juga jalan pelantar. Jika kondisi air laut sedang pasang, seluruh rumah warga terlihat seakan mengapung, layaknya, “Kampung terapung”.
“Jalan ini baru dibangun ni,” sebut pemilik rumah, Edi (47), sembari menyuguhkan kami air mineral. Minggu (27/11/2022).
Bang Edi sapaan akrab kami. Aku dan rekan ku bersama temannya, mulai mendengar cerita bang Edi, di kursi depan rumahnya. Cerita tentang kehidupan warga tempat dia berdomisili, perjuangan hidup, kondisi sulitnya ekonomi, minimnya infrastruktur, hingga politik pun, tak luput dia bahas.
Pria kelahiran Kudap, Tahun 1975 itu, sejak kecil sudah menetap di Dusun Penampar, RT. 02, RW. 01, Desa Kudap, Kecamatan Tasik Putri Puyu, Kepulauan Meranti, Riau. Tidak seperti sekarang. Jalan pelantar yang menjadi akses jalan utama, warga Dusun Penampar beberapa tahun belakangan kondisinya sangat memperihatinkan. Sejak belasan tahun, kondisi jalan pelantar itu tak kunjung mendapat perhatian.
“Terakhir jalan ini diperbaiki saat masih Kabupaten Bengkalis,” ujar Pria yang kini telah memiliki empat orang buah hati itu.
Sejak saat itu, kondisi jalan pelantar mengalami rusak berat. Tak hanya konstruksi tiang penyangga yang rapuh, papan lantai jalan itu, juga banyak yang lapuk dan berlubang, karena termakan usia. Hal itu jelas membahayakan warga yang melintas, terutama anak-anak sekolah. Meski tak sampai jatuh korban jiwa, namun sejumlah warga telah menjadi korban, akibat kondisi kerusakan tersebut.
“Sudah banyak kejadian warga jatuh akibat jalan yang rusak ini. Terakhir penjual es krim yang jatuh ke laut, habis semue dagangannye,” ceritanya.
Bersama sejumlah warga, akhirnya pedagang es krim keliling, yang jatuh bersama sepeda motor dan dagangannya itu berhasil diselamatkan. Beruntung, saat kejadian kondisi air laut surut, sehingga korban hanya jatuh ke pantai, dan proses evakuasi bisa cepat dilakukan. Karena merasa iba, Edi juga menyisihkan sedikit rejekinya untuk diberikan ke penjual es.
“Die keluar nyari rezeki, istrinye di rumah pasti menunggu suaminye bawak balek duit. Sedangkan daganganye rusak, tak mungkin dijual lagi. Jadi kite bantulah semampu kite,” terang Edi, dengan logat khas suku Akit.
Untuk meminimalisir kerusakan, beberapa kali warga mengumpulkan sumbangan untuk melakukan perbaikan, pada sejumlah bagian jalan yang patah, maupun berlubang. Namun upaya tersebut tak berlangsung lama. Pasalnya kondisi jalan pelantar yang sudah termakan usia, membuat hampir seluruh bagian mulai rusak. Di sisi lain, kondisi ekonomi warga sekitar yang juga terbilang sulit, membuat upaya perbaikan secara swadaya menjadi terhenti. Maklum, hampir 100 persen warga Dusun Penampar, berprofesi sebagai nelayan, untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Nelayan tangkap tradisional, dengan hasil tangkapan berupa ikan bilis, biang, lomek, tenggiri, dan jenis ikan lainnya, yang hanya dijual langsung ke pembeli, di desa tersebut. Sehingga dengan kondisi itu, kehidupan warga di sana masih jauh dari kata mapan. Untuk menambah penghasilan, beberapa warga juga beternak babi, serta ada yang membuka warung sembako seperti bang Edi.
Kesabaran warga akhirnya berbuah manis. “Bagaikan Mendapat Durian Runtuh”, Program Swakelola, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kepulauan Meranti, menjawab semua kesulitan warga “Kampung terapung” atau Dusun Penampar, Desa Kudap. Jalan pelantar itu akhirnya direhab total, sehingga kini sudah bisa dimanfaatkan oleh warga sekitar.
“Setelah diperbaiki, dah tak khawatir lagi kite. Dengan bahan kayu yang bagus, kite harapkan bisa bertahan 8 tahun ke depan. Harapan kami nanti bisa dibangun secara permanen, jadi dah tak risau lagi,” pungkas Edi.
Ada sekitar 300 Kepala Keluarga (KK), yang mendiami pesisir pantai Desa Kudap. Dari jumlah itu, hampir 100 persen merupakan warga suku Asli atau suku Akit, yang berprofesi sebagai nelayan. Tak hanya warga, pemerintah desa setempat, juga sempat beberapa kali melakukan perbaikan di sejumlah titik kerusakan jalan pelantar.
“Kita juga pernah melakukan perbaikan, namun hanya di titik-titik yang rusak saja,” sebut Kepala Desa Kudap, Sutrisno.
Senada dengan Edi, diakui Sutrisno, langkah swadaya juga pernah ditempuh, untuk melakukan perbaikan. Namun, lagi-lagi faktor ekonomi menjadi penghambat. Ditambah lagi kondisi pandemi Covid19, yang membuat perekonomian warga makin terpuruk.
“Tetapi dengan adanya pembangunan jalan pelantar lewat metode swakelola ini, sangat membantu masyarakat,” terangnya.
Pembangunan jalan pelantar yang dibangun lewat sistem swakelola itu, merupakan prioritas Bupati Kepulauan Meranti, H. Muhammad Adil,. SH,. MM, yang sempat berkunjung ke desa tersebut beberapa waktu lalu. Kondisi jalan yang sudah rusak berat, membuat proses perbaikan harus segera dilaksanakan, agar tak ada lagi korban.
“Karena kondisinya rusak berat, dan harus segera di perbaiki, akhirnya kita putuskan untuk melakukan perbaikan dengan sistem swakelola” ujar Kepala Bidang Bina Marga, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kepulauan Meranti, Rahmat Kurnia ST.
Pembangunan jalan pelantar sepanjang 337 meter, dengan lebar 2 meter secara swakelola itu, dinilai lebih efektif dan efisien. Untuk pembangunan jalan pelantar sepanjang 300-an meter lebih itu menelan biaya 550 juta rupiah. Selain waktu pengerjaan bisa lebih cepat, warga sekitar juga dilibatkan dalam proses pembangunan, sehingga memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat sekitar. Meski dikerjakan secara swakelola, pengerjaannya pun tidak asal-asalan. Seluruh bahan yang digunakan, memiliki kualitas terbaik, mulai dari tiang, hingga lantai jalan tersebut.
“Kita lakukan perbaikan dengan konstruksi yang lebih kuat. Untuk tiang kita gunakan kayu nibung, sedangkan bagian lainnya seperti balok dan lantai jalan, kita gunakan kayu parak dan kayu klat,” terang pria yang akrab disapa Aang itu.
Proses pengerjaanya sudah dimulai sejak bulan September lalu. Mulai dari pembongkaran, distribusi material, hingga pemancangan tiang jalan. Walau terkesan mudah, proses pengerjaannya bukanlah tanpa tantangan. Untuk mendapatkan kayu berkualitas, harus didatangkan dari luar kecamatan,sehingga harus memakan waktu. Belum lagi proses melangsir kayu nibung yang jumlahnya tak sedikit. Ditambah lagi kondisi pasang surut air laut, yang turut memengaruhi proses pengerjaan.
“Untuk tiang jalan kita gunakan nibung lokal, sedangkan jenis kayu parak dan klat, kita datangkan dari Sungai Tohor, Kecamatan Tebingtinggi Timur,” terangnya.
Percepatan pembangunan infrastruktur lewat sistem swakelola sudah gencar dilakukan sejak tahun sebelumnya. Sistem tersebut dinilai lebih efektif dan efisien, terlebih di tengah keterbatasan anggaran seperti saat ini. Perbedaan yang paling signifikan jika dibandingkan sistem tender adalah prosesnya akan memakan waktu lebih lama. Mulai dari penyiapan dokumen, perencanaan dan proses lelang saja, butuh waktu hingga satu setengah bulan. Belum lagi proses pelaksanaannya, serta jika terjadi kendala di lapangan. Sementara sistem swakelola, selain lebih efisien secara harga, waktu dan sasaran yang ingin dicapai juga lebih cepat.
“Selain cepat, pembiayaan juga lebih rendah. Jika sistem tender ada namanya profit atau keuntungan perusahaan, yakni 10 hingga 15 persen. Sementara lewat metode swakelola otomatis tidak ada, karena di kerjakan sendiri dan hanya membayar pajak saja,” ujar Aang..
Senada dengan Visi dan Misi Bupati Kepulauan Meranti, Dinas PUPR Kepulauan Meranti, terus menggesa pembangunan infrastruktur, guna mengejar ketertinggalan dari kabupaten lainnya. Dengan kondisi keterbatasan anggaran, metode swakelola adalah pilihan yang tepat.
Pada tahun 2021 lalu, lewat swakelola, sudah terbangun 46,74 Km jalan dan 47 unit jembatan. Melihat efektivitas sistem swakelola, tersebut, tahun ini ada sekitar 30 unit jembatan kembali dibangun, sementara jalan telah lebih dari 40 km, baik di dalam kota dan hampir di seluruh kecamatan yang ada.
“Kalau swakelola sumbernya dianggarkan lewat APBD Kepulauan Meranti. Untuk tahun ini ada sekitar 10 miliar yang kita anggarkan. Alhamdulillah, sudah kita laksanakan semuanya,” terang pria berkacamata itu.
Meski jumlah alokasi anggaran swakelola setiap tahunnya fluktuatif, namun sasaran program itu sudah terpetakan dengan baik. Khusus di Bina Marga saja, mulai dari jalan kabupaten, Box Culvert, Duiker dan jembatan. Sedangkan bidang lainnya, ada pengairan, irigasi rawa, perumahan, pembangunan Masjid dan fasilitas keagamaan lainnya.
Jika menengok efektivitas sistem swakelola, diharapkan metode itu mampu menjadi strategi jitu, dalam menuntaskan kesulitan infrastruktur yang dialami masyarakat. Mewujudkan harapan warga meranti, untuk mendapatkan pemerataan infrastruktur, seperti harapan warga ‘Kampung terapung’, Dusun Penampar, Desa Kudap, yang kini terwujud. (Uya).
Sumber : https://centroriau.id/2022/12/18/swakelola-penyambung-asa-warga-kampung-terapung/
Tags: